Buruknya Sistem Pendidikan di Indonesia
Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.
Sekarang saja ada sekitar 750.000
lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur
itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari
tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus
sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam
”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan
layanan pendidikan di jenjangnya.
Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru
bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi? Jika jawabannya agar
mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi
tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang
bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma
hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang.
Jika sebagian besar lapangan kerja hanya
tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus
buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi?
Sir Ken Robinson, profesor pakar
pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang
menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi
inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat
kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot. Lebih
dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para
siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih
mengutamakan pembangunan kreativitas.
Paul Krugman, kolumnis The New York
Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan
fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di
level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan
bergaji tinggi—kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja
untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan
kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum
bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan
kebersihan, terus tumbuh.
Kreativitas dan imajinasi
Fakta lokal dan kondisi global tersebut
harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia
pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin
tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah
mimpi di siang bolong!
Namun, jika orientasi masyarakat tetap
untuk ”jadi pegawai”, yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan
pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi
operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi,
manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di
perkantoran. Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) ”bertaraf
internasional” yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan
standar internasional.
Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah
bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak
perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu,
seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih
serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia
dini. Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun
kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian.
Kata kuncinya adalah ”kreativitas” dan
”imajinasi”; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas
apa pun! Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang
harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan
zaman. Kini kita sudah memasuki era digital.
Itu artinya, konsep tentang ruang dan
waktu pun berubah. Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang,
dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka,
tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa
membangun semangat ”cinta belajar” pada semua peserta didik sejak awal.
Dengan spirit dan mentalitas ”cinta belajar”, apa pun yang akan dihadapi
pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi,
menguasai, dan mengubahnya.
Membangun semangat ”cinta belajar” tak
perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah
tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun
melalui telepon genggam.
Jadi, cukup berikan kemampuan
menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di
internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia
mesin penerjemah aneka bahasa yang instan. Anak-anak cukup sekolah 12
tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak
usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk
mereka, sepanjang manusia masih ada.
sumber : http://news.aribicara.com/tag/buruknya-sistem-pendidikan-di-indonesia/
sumber : http://news.aribicara.com/tag/buruknya-sistem-pendidikan-di-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar