Jumat, 31 Mei 2013

Kamis, 30 Mei 2013

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Disgrafia



Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Disgrafia



Disusun oleh :
Elisabeth Sekar Dwimukti     111134010
Yohanes Ria Kurniawan        111134165
Hosea Bivin Chandra   1111340

Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2013

A.    Pengertian
Pengertian gangguan belajar secara bahasa adalah masalah yang dapat mempengaruhi kemampuan otak dalam menerima, memproses, menganalisis dan menyimpan informasi. Sedangkan pengertian yang diberikan oleh National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengenai gangguan belajar adalah suatu kumpulan dengan bermacam-macam gangguan yang mengakibatkan kesulitan dalam mendengar, berbicara, menulis, menganalisis, dan memecahkan persoalan.
Disgrafia adalah Kesulitan khusus di mana anak tidak bisa menuliskan/mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyusun huruf/kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada anak-anak umumnya, kesulitan ini bisa terlihat saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis.

B.     Ciri-ciri Disgrafia
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

C.     Faktor Penyebab Gangguan Menulis (Disgrafia)

Gangguan menulis (disgrafia) disebabkan oleh faktor neurologis, adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis huruf dan angka.
Kesulitan ini tidak berkaitan dengan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak.
Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan menjadi frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan, hanya saja ia memiliki hambatan.
Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.
Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya
Sebuah penelitian di Amerika melaporkan, kasus kesulitan belajar yang terkait ketidakmampuan menulis (disgrafia) lebih banyak ditemui pada anak laki-laki. Berkebalikan dengan kesulitan membaca seperti disleksia yang telah banyak diteliti, penelitian tentang kesulitan menulis masih sangat minim, sehingga angka kasusnya juga tidak jelas. Pada penelitian terbaru yang melibatkan lebih dari 5700 anak, diketahui bahwa sekitar 7-15 persen dari jumlah tersebut mengalami gangguan baca-tulis semasa duduk di bangku sekolah. Persentase ini bervariasi, tergantung kriteria yang dipakai untuk mendiagnosis masalah ini. Anak laki-laki kecenderungannya 2-3 kali lebih berisiko terdiagnosis ketidakmampuan membaca dibanding anak wanita, apa pun jenis kriteria diagnosis yang dipakai.kkk

D.    Cara Mengatasi Gangguan Menulis Pada Anak


Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:
1. Pahami keadaan anak
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua  meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa  memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
3. Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4. Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS “DYSLEXIA”



PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
“DYSLEXIA”





A.   Definisi
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan. 
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa.
Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non- inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar.
Kesulitan belajar juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan.
Diidentifikasi oleh Oswald Berkhan pada tahun 1881, kemudian istilah 'disleksia' diciptakan pada tahun 1887 oleh Rudolf Berlin, seorang praktisi dokter mata di Stuttgart, Jerman. Selama tahun 1890-an dan awal 1900-an, James Hinshelwood menerbitkan serangkaian artikel dalam jurnal medis menggambarkan kasus serupa dengan buta huruf bawaan. Pada tahun 1917 dalam bukunya ''Congenital Word Blindness'', Hinshelwood menegaskan bahwa kecacatan dasar dalam memori visual untuk kata-kata dan huruf, dan menggambarkan gejala termasuk pembalikan huruf, dan kesulitan dengan ejaan dan membaca pemahaman.
Disleksia adalah salah satu jenis kesulitan belajar pada anak berupa ketidakmampuan membaca. Gangguan ini bukan disebabkan ketidakmampuan penglihatan, pendengaran, intelegensia, atau keterampilannya dalam berbahasa, tetapi lebih disebabkan oleh gangguan dalam proses otak ketika mengolah informasi yang diterimanya.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.
Ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexsia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexsia (didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental dyslexsiadiderita sepanjang hidup pasien dan biasanya bersifat genetik. Beberapa penelitian  menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan dengan disfungsi daerah abu-abu pada otak. Disfungsi tersebut berhubungan dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca). Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi huruf-huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal, cepat, dan berurutan. Pada usia sekolah, umumnya penderita disleksia dapat mengalami kesulitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam menerima.

Mengenal Gejala Disleksia
Disleksia sebetulnya bisa dikenali dari sejumlah gejala yang diperlihatkan sang anak. Sejumlah faktor yang bisa dijadikan pedoman untuk mengenalinya, antara lain:
1.    Lambat Bicara
Normalnya, kemampuanbahasasudahberkembangsejakanakberusiasetahun. Di usia ini biasanya anak sudah mulai bisa mengucapkan satu kata seperti ‘mam'. Dan menginjakusia 2 tahun, anakbiasanyasudahbisamerangkai kata, seperti ‘mama ma-em'.

2.    Tak Bisa Menghafal Huruf
Menjelangmasukusiasekolah, takjarangorangtuamendaftarkan Si Kecil kepre school. Di kelas ini biasanya anak sudah mendapat pelajaran menghafalkan huruf, sebagai bekal belajar membaca di sekolah formal kelak.
Pada anak disleksia, bisa terjadi kesulitan membaca-tulis huruf tertentu, misalnya menyebut ‘t' menjadi ‘j', atau ‘b' menjadi ‘d'. Bagimereka, huruf-hurufinisulitdibedakankarenabentuknya yang mirip.
Atau, ketikadimintamenyebut huruf A-Z, ia mampu. Tetapi, ketika dipenggal untuk menyebut dari huruf G sampai Z, ia akan bingung. Bagi mereka, huruf bersifat hafalan dari bunyi yang didengarnya. Bukansebagaiingatanakanvisualisasidarihuruf.

3.    Tak Bisa Mengeja
Jika Si Kecil sulitmengenalisejumlahhuruf, saatmasuksekolah formal, iaakankesulitanmengeja. Misalnya, ketika diajak mengeja d-a-da, d-u-du, lalu diminta melafalkan d-a (yang seharusnya dibaca ‘da'), ia tak mampu. Atau, kesalahanmembacaterbalik, misalnya ‘gajah' menjadi ‘jagah'.

4.    Salah Menyalin
Seringkaliketikadimintamenyalinteks, anakdisleksiamembuatkesalahanberulang. Dan ketika ditanya di mana letak kesalahannya, ia tak mengerti dan merasa sudah menuliskan semua abjad secara benar. Misalnya, menulis ‘badak' menjadi ‘babak'.

5.    Malas Membaca
Olehkarenatakmampumemrosestulisandalam kata, anakdisleksiakeraptakpahamapamaksuddaribacaan yang iadibaca. Lama-lama, iabisamalasmembaca.



B.   Faktor Penyebab
Disleksia dimungkinkan oleh beberapa sebab berikut ini.
1.    Faktor keturunan
Anak yang mengalami disleksia biasanya cenderung terdapat di keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang kidal. Meskipun demikian, orang tua yang mengalami disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya. Begitu juga, anak yang kidal belum tentu mengalamai gangguan disleksia.

2.    Masalah pendengaran sejak dini
Jika ada masalah dengan pendengaran dan tidak terdeteksi, otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengar dengan huruf atau kata yang dilihat. Padahal, kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa –yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang– terutama jika disleksia tidak segera ditangani. Konsultasi dan penanganan dari para ahli sangat diperlukan.

3.    Faktor kombinasi
Disleksia juga disebabkan oleh kombinasi faktor keturunan dan masalah pendengaran. Jika penyebab ini yang terjadi, anak berada dalam kondisi yang sangat serius sehingga perlu mendapat penanganan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Jika tidak segera ditangani, gangguan ini bisa berlangsung sampai dewasa.



C.   Karakteristik
Karakteristik anak yang mengalami disleksia:
  1. Ketika membaca lisan, ada kata-kata yang terlewat, serta adanya penambahan atau penyimpangan kata-kata.
  2. Anak membaca dengan lambat.
  3. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
  4. Kesulitan dalam mengurutkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
  5. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
  6. Sulit mengeja secara benar. Bisa jadi, anak mengeja satu kata dengan bermacam ucapan, walaupun kata tersebut berada di halaman yang sama.
  7. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar, terbalik-balik ketika membunyikan huruf yang mempunyai kemiripan bentuk (seperti: d–b, u–n, atau m–n), serta rancu membedakan huruf atau fonem yang memiliki kemiripan bunyi (seperi: v dan f).
  8. Membaca suku kata dengan benar di satu halaman, tetapi salah di halaman lainnya.
  9. Mengalami kesulitan saat harus memahami teks yang dibacanya. Mungkin anak bisa membaca dengan benar, tetapi tidak mengerti dengan teks yang dibacanya.
  10. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya: “hal” menjadi “lah”, “kelinci berada di atas meja” menjadi “berdiri kelinci di atas meja”.
  11. Rancu terhadap kata-kata yang singkat, seperti: ke, dari, dan, serta jadi.
  12. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
  13. Sering lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya di tempat yang salah.
  14. Sering lupa meletakkan tanda baca, seperti: titik, koma, tanda tanya, atau tanda seru.
  15. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang bagus.
  16. Menulis dengan adanya jarak pada huruf-huruf dalam satu rangkaian kata. Selain itu, tulisannya kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun.
  17. Menempatkan paragraf secara keliru.

Penampilan Secara Umum
1.    Terlihat sangat cerdas, IQ tinggi dan pandai berbicara tapi tidak bisa membaca, menulis, atau mengeja di tingkat kelas yang sewajarnya sudah bisa
2.    Sering di cap malas, bodoh, ceroboh, tidak dewasa, “tidak mau berusaha” atau “anak bermasalah”
3.    Merasa bodoh, minder/rendah diri, menyembunykan atau menutupi kelemahan dengan kompetensi strategi yang cerdik, mudah frustasi dan emosional tentang bacaan sekolah atau pengujian.
4.    Berbakatdalambidangseni, drama, musik, olahraga, mekanik, mendongeng, penjualan, bisnis, desain, pembangunan, ataumesin
5.    Kesulitanuntukfokus; seringtampak "hiper" ataujustru "melamun."
6.    Belajardengansangatbaikmelaluipengalaman, demonstrasi, eksperimen, observasi, danalat bantu visual
D.   Rekomendasi Pendampingan
Ada  tiga model strategi pembelajaran yg bisa diterapkan terhadap anak-anak disleksia. Ketiga model tersebut antara lain Metode Multisensori, Metode Fonik (Bunyi), dan Metode Linguistik.

ü  Metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual (kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran), kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak.
ü  MetodeFonikatauBunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan visual anak dgn cara menamai huruf sesuai dgn bunyinya. Misalnya, huruf B dibunyikaneb, huruf C dibunyikandgnec.Karenaanakdisleksiaakan berpikir, jika kata becak, maka terdiri dari b-c-a-k, kurang huruf e.
ü  MetodeLinguistik,adalahmengajarkananakmengenal kata secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yg bermiripan. Penekananinidiharapkandapatmembuatanakmampumenyimpulkansendiripolahubunganantarahurufdanbunyinya.

Rekomendasi pendampingan yang dapat dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Cobalahmembuatjadwalharianuntukmembiasakannyamembaca.
2.    IstirahatlahbarangsejenakapabilaanakAndaterlihatkelelahan, laparataumulaijenuh.
3.    Janganmemberikanpelajaranterlalu lama danbanyakketikabarupertama kali melakukannya.
4.    Buatlah target-target yang ingindicapai.
5.    Beri reward & punishment padaanaksetiapmelakukankemajuandankesalahan.
6.    Buatkesanpada kata-kata yang adadalamceritaketikadibacakan, anaktidakberartiharusmengulang kata.
7.    Mulailahdenganmembacabeberapahalamanatauparagrafpertamadarisebuahceritadengansuarakeras agar anakAndaterpancinguntukmenyimak.
8.    Buatlahaktivitas-aktivitas yang variatifdenganmemberikanbeberapasesiuntukmengerjakanpermainan-permainanhuruf disampingaktivitasmembaca.
9.    Jadikansesiinisebagai pengganti sesi membaca denga suara keras di hadapan anak Anda.

Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini:
1.    Stress karenatakutbelajarmembaca. 
2.    Permasalahanmembacapadaanak tersebut memancing terjadinya konflik dalamsebuahkeluarga, atauapabila sang anakmerasaterisolirdarilingkunganpergaulannyadikarenakanpermasalahanmembaca yang merekaalami



E.    Probabilitas Penderita Disleksia

Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang
seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat. Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. Angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.



F.    Sumber
Mangunsong, Frida. (2009), Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,
Jakarta:LPSP3 UI


TUGAS
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
“DYSLEXIA”





A.   Definisi
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan. 
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa.
Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non- inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar.
Kesulitan belajar juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan.
Diidentifikasi oleh Oswald Berkhan pada tahun 1881, kemudian istilah 'disleksia' diciptakan pada tahun 1887 oleh Rudolf Berlin, seorang praktisi dokter mata di Stuttgart, Jerman. Selama tahun 1890-an dan awal 1900-an, James Hinshelwood menerbitkan serangkaian artikel dalam jurnal medis menggambarkan kasus serupa dengan buta huruf bawaan. Pada tahun 1917 dalam bukunya ''Congenital Word Blindness'', Hinshelwood menegaskan bahwa kecacatan dasar dalam memori visual untuk kata-kata dan huruf, dan menggambarkan gejala termasuk pembalikan huruf, dan kesulitan dengan ejaan dan membaca pemahaman.
Disleksia adalah salah satu jenis kesulitan belajar pada anak berupa ketidakmampuan membaca. Gangguan ini bukan disebabkan ketidakmampuan penglihatan, pendengaran, intelegensia, atau keterampilannya dalam berbahasa, tetapi lebih disebabkan oleh gangguan dalam proses otak ketika mengolah informasi yang diterimanya.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.
Ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexsia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexsia (didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental dyslexsiadiderita sepanjang hidup pasien dan biasanya bersifat genetik. Beberapa penelitian  menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan dengan disfungsi daerah abu-abu pada otak. Disfungsi tersebut berhubungan dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca). Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi huruf-huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal, cepat, dan berurutan. Pada usia sekolah, umumnya penderita disleksia dapat mengalami kesulitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam menerima.

Mengenal Gejala Disleksia
Disleksia sebetulnya bisa dikenali dari sejumlah gejala yang diperlihatkan sang anak. Sejumlah faktor yang bisa dijadikan pedoman untuk mengenalinya, antara lain:
1.    Lambat Bicara
Normalnya, kemampuanbahasasudahberkembangsejakanakberusiasetahun. Di usia ini biasanya anak sudah mulai bisa mengucapkan satu kata seperti ‘mam'. Dan menginjakusia 2 tahun, anakbiasanyasudahbisamerangkai kata, seperti ‘mama ma-em'.

2.    Tak Bisa Menghafal Huruf
Menjelangmasukusiasekolah, takjarangorangtuamendaftarkan Si Kecil kepre school. Di kelas ini biasanya anak sudah mendapat pelajaran menghafalkan huruf, sebagai bekal belajar membaca di sekolah formal kelak.
Pada anak disleksia, bisa terjadi kesulitan membaca-tulis huruf tertentu, misalnya menyebut ‘t' menjadi ‘j', atau ‘b' menjadi ‘d'. Bagimereka, huruf-hurufinisulitdibedakankarenabentuknya yang mirip.
Atau, ketikadimintamenyebut huruf A-Z, ia mampu. Tetapi, ketika dipenggal untuk menyebut dari huruf G sampai Z, ia akan bingung. Bagi mereka, huruf bersifat hafalan dari bunyi yang didengarnya. Bukansebagaiingatanakanvisualisasidarihuruf.

3.    Tak Bisa Mengeja
Jika Si Kecil sulitmengenalisejumlahhuruf, saatmasuksekolah formal, iaakankesulitanmengeja. Misalnya, ketika diajak mengeja d-a-da, d-u-du, lalu diminta melafalkan d-a (yang seharusnya dibaca ‘da'), ia tak mampu. Atau, kesalahanmembacaterbalik, misalnya ‘gajah' menjadi ‘jagah'.

4.    Salah Menyalin
Seringkaliketikadimintamenyalinteks, anakdisleksiamembuatkesalahanberulang. Dan ketika ditanya di mana letak kesalahannya, ia tak mengerti dan merasa sudah menuliskan semua abjad secara benar. Misalnya, menulis ‘badak' menjadi ‘babak'.

5.    Malas Membaca
Olehkarenatakmampumemrosestulisandalam kata, anakdisleksiakeraptakpahamapamaksuddaribacaan yang iadibaca. Lama-lama, iabisamalasmembaca.



B.   Faktor Penyebab
Disleksia dimungkinkan oleh beberapa sebab berikut ini.
1.    Faktor keturunan
Anak yang mengalami disleksia biasanya cenderung terdapat di keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang kidal. Meskipun demikian, orang tua yang mengalami disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya. Begitu juga, anak yang kidal belum tentu mengalamai gangguan disleksia.

2.    Masalah pendengaran sejak dini
Jika ada masalah dengan pendengaran dan tidak terdeteksi, otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengar dengan huruf atau kata yang dilihat. Padahal, kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa –yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang– terutama jika disleksia tidak segera ditangani. Konsultasi dan penanganan dari para ahli sangat diperlukan.

3.    Faktor kombinasi
Disleksia juga disebabkan oleh kombinasi faktor keturunan dan masalah pendengaran. Jika penyebab ini yang terjadi, anak berada dalam kondisi yang sangat serius sehingga perlu mendapat penanganan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Jika tidak segera ditangani, gangguan ini bisa berlangsung sampai dewasa.



C.   Karakteristik
Karakteristik anak yang mengalami disleksia:
  1. Ketika membaca lisan, ada kata-kata yang terlewat, serta adanya penambahan atau penyimpangan kata-kata.
  2. Anak membaca dengan lambat.
  3. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
  4. Kesulitan dalam mengurutkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
  5. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
  6. Sulit mengeja secara benar. Bisa jadi, anak mengeja satu kata dengan bermacam ucapan, walaupun kata tersebut berada di halaman yang sama.
  7. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar, terbalik-balik ketika membunyikan huruf yang mempunyai kemiripan bentuk (seperti: d–b, u–n, atau m–n), serta rancu membedakan huruf atau fonem yang memiliki kemiripan bunyi (seperi: v dan f).
  8. Membaca suku kata dengan benar di satu halaman, tetapi salah di halaman lainnya.
  9. Mengalami kesulitan saat harus memahami teks yang dibacanya. Mungkin anak bisa membaca dengan benar, tetapi tidak mengerti dengan teks yang dibacanya.
  10. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya: “hal” menjadi “lah”, “kelinci berada di atas meja” menjadi “berdiri kelinci di atas meja”.
  11. Rancu terhadap kata-kata yang singkat, seperti: ke, dari, dan, serta jadi.
  12. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
  13. Sering lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya di tempat yang salah.
  14. Sering lupa meletakkan tanda baca, seperti: titik, koma, tanda tanya, atau tanda seru.
  15. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang bagus.
  16. Menulis dengan adanya jarak pada huruf-huruf dalam satu rangkaian kata. Selain itu, tulisannya kadang-kadang naik dan kadang-kadang turun.
  17. Menempatkan paragraf secara keliru.

Penampilan Secara Umum
1.    Terlihat sangat cerdas, IQ tinggi dan pandai berbicara tapi tidak bisa membaca, menulis, atau mengeja di tingkat kelas yang sewajarnya sudah bisa
2.    Sering di cap malas, bodoh, ceroboh, tidak dewasa, “tidak mau berusaha” atau “anak bermasalah”
3.    Merasa bodoh, minder/rendah diri, menyembunykan atau menutupi kelemahan dengan kompetensi strategi yang cerdik, mudah frustasi dan emosional tentang bacaan sekolah atau pengujian.
4.    Berbakatdalambidangseni, drama, musik, olahraga, mekanik, mendongeng, penjualan, bisnis, desain, pembangunan, ataumesin
5.    Kesulitanuntukfokus; seringtampak "hiper" ataujustru "melamun."
6.    Belajardengansangatbaikmelaluipengalaman, demonstrasi, eksperimen, observasi, danalat bantu visual
D.   Rekomendasi Pendampingan
Ada  tiga model strategi pembelajaran yg bisa diterapkan terhadap anak-anak disleksia. Ketiga model tersebut antara lain Metode Multisensori, Metode Fonik (Bunyi), dan Metode Linguistik.

ü  Metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual (kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran), kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak.
ü  MetodeFonikatauBunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan visual anak dgn cara menamai huruf sesuai dgn bunyinya. Misalnya, huruf B dibunyikaneb, huruf C dibunyikandgnec.Karenaanakdisleksiaakan berpikir, jika kata becak, maka terdiri dari b-c-a-k, kurang huruf e.
ü  MetodeLinguistik,adalahmengajarkananakmengenal kata secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yg bermiripan. Penekananinidiharapkandapatmembuatanakmampumenyimpulkansendiripolahubunganantarahurufdanbunyinya.

Rekomendasi pendampingan yang dapat dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Cobalahmembuatjadwalharianuntukmembiasakannyamembaca.
2.    IstirahatlahbarangsejenakapabilaanakAndaterlihatkelelahan, laparataumulaijenuh.
3.    Janganmemberikanpelajaranterlalu lama danbanyakketikabarupertama kali melakukannya.
4.    Buatlah target-target yang ingindicapai.
5.    Beri reward & punishment padaanaksetiapmelakukankemajuandankesalahan.
6.    Buatkesanpada kata-kata yang adadalamceritaketikadibacakan, anaktidakberartiharusmengulang kata.
7.    Mulailahdenganmembacabeberapahalamanatauparagrafpertamadarisebuahceritadengansuarakeras agar anakAndaterpancinguntukmenyimak.
8.    Buatlahaktivitas-aktivitas yang variatifdenganmemberikanbeberapasesiuntukmengerjakanpermainan-permainanhuruf disampingaktivitasmembaca.
9.    Jadikansesiinisebagai pengganti sesi membaca denga suara keras di hadapan anak Anda.

Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini:
1.    Stress karenatakutbelajarmembaca. 
2.    Permasalahanmembacapadaanak tersebut memancing terjadinya konflik dalamsebuahkeluarga, atauapabila sang anakmerasaterisolirdarilingkunganpergaulannyadikarenakanpermasalahanmembaca yang merekaalami



E.    Probabilitas Penderita Disleksia

Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang
seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat. Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. Angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.



F.    Sumber
Mangunsong, Frida. (2009), Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,
Jakarta:LPSP3 UI